Awal Terburuk Pep Guardiola di Liga Inggris, Haruskah Man City Mulai Cemas

Pep Guardiola berjalan gontai di lapangan Amex Stadium usai Manchester City dipermalukan Brighton & Hove Albion, Minggu (31-8-2025).

Tatapannya tertunduk, tangan terbenam di saku celana, dan ia bahkan tak menyalami Fabian Hurzeler ataupun menyapa para pemainnya. Hanya ada tepuk tangan singkat untuk fans Man City yang hadir di tribune tamu, setelah tiga menit ia berdiri tanpa arah di tengah lapangan.

Gestur itu mencerminkan kondisi Man City dalam setengah jam terakhir pertandingan. Mereka kehilangan kendali, tak lagi menunjukkan semangat juang, dan menerima nasib ketika Brighton membalikkan keadaan menjadi 2-1.

Kekalahan ini datang sepekan setelah tumbang 0-2 dari Tottenham di Etihad. Hasilnya, Man City hanya mengoleksi tiga poin dari tiga laga awal Premier League, catatan terburuk Guardiola sepanjang kariernya di liga.

Bahkan, untuk pertama kalinya sejak September 2021, mereka berada di bawah Manchester United di klasemen setelah melewati tiga pekan atau lebih.

Hilangnya Aura Tak Terkalahkan

Selama bertahun-tahun, Man City identik dengan dominasi dan rasa "tak tersentuh". Kini, aura itu mulai pudar.

Mereka sempat mengontrol jalannya laga di Brighton, unggul lebih dulu lewat Erling Haaland pada menit ke-34. Namun, setelah peluang emas sang striker gagal dimanfaatkan, permainan Man City mengendur.

Pergantian empat pemain sekaligus oleh Brighton di menit ke-60 mengubah dinamika pertandingan. James Milner dan rekan-rekannya menghadirkan energi baru, yang oleh Hurzeler disebut menyebar seperti "virus". Hasilnya, dua gol Brighton membuat Man City tak berdaya.

Yang mengkhawatirkan, menurut banyak pengamat, adalah sikap pasrah skuad Guardiola. Padahal, hingga akhir laga, Man City masih diperkuat pilar seperti Ruben Dias, John Stones, Rodri, dan Haaland.

Rodri terang-terangan menyebut rekan-rekannya melakukan kesalahan kekanak-kanakan. Guardiola pun mengakui timnya "lupa melanjutkan permainan" setelah kebobolan penalti dari James Milner, hasil handball Matheus Nunes.

Upaya Guardiola merombak komposisi lewat masuknya Nico O'Reilly, Jeremy Doku, hingga Rico Lewis tak mampu mengubah keadaan. Justru terlihat jelas Man City hanya ingin selamat dengan satu poin. Sesuatu yang sulit dibayangkan setahun lalu.

Dari Rasa Takut Jadi Rasa Percaya Diri Lawan

Kerapuhan Man City kini jadi tontonan. Lawan-lawan yang dulu segan, kini berani menyerang balik ketika tertinggal.

Begitu tim sehebat Man City runtuh sedramatis itu, mereka melewati garis batas.

Ibarat petinju juara yang untuk pertama kali dijatuhkan ke kanvas, persepsi lawan berubah total.

"Dagu granit" yang selama ini diyakini tak tergoyahkan ternyata hanya ilusi. Itulah yang kini dialami Man City: dari tim yang ditakuti, berubah menjadi manusiawi dengan kelemahan yang nyata.

Bukan Krisis, tapi Masalah Serius

Meski begitu, Man City belum memasuki fase krisis seperti musim lalu saat terpuruk dari Oktober hingga Februari. Namun, konsistensi yang dibutuhkan untuk bersaing di jalur juara tampak masih jauh dari kata memadai.

Ada sejumlah titik terang. Abdukodir Khusanov tampil menjanjikan di lini belakang bersama Stones, Tijjani Reijnders menunjukkan kualitas tinggi, dan Oscar Bobb mulai menemukan peran di sektor sayap kanan.

Namun, terlalu banyak posisi masih belum pasti. Dari kiper, bek kanan, bek tengah, gelandang kanan, hingga sayap kiri, semua seolah dalam keadaan coba-coba. Lini belakang kerap tidak selaras, lini tengah masih mencari keseimbangan, dan trio depan jarang terhubung efektif.

Guardiola kini dihadapkan pada tantangan baru: membangun ulang chemistry tim yang kehilangan faktor ketakutan. Man City tetap dihuni pemain top, tetapi mereka tampak berada dalam masa transisi.

Tantangan bagi Guardiola adalah mengembalikan identitas tim, sekaligus menemukan formula baru agar juara bertahan Premier League ini kembali disegani.

Sumber: NYTimes - bola.com